TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH

Dari Fiqh Al-Khulafa’ Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme

oleh DR. Jalaluddin Rakhmat

 

 

KARAKTERISTIK FIQH SAHABAT

 

Seperti telah disebutkan di muka, dari segi prosedur penetapan hukum,  ada  dua  cara yang dilakukan para sahabat. Kedua cara ini melahirkan dua mazhab besar di kalangan sahabat – Madzhab ‘Alawi dan Madzhab ‘Umari yang akhirnya mewariskan kepada kita sekarang sebagai Syi’ah  dan  ahli  Sunnah.  Para  sahabat  — seperti  Miqdad,  Abu  Dzar,  ‘Ammar  bin Yasir, Hudzaifah dan sebagian besar Bani Hasyim — merujuk pada ahl  al-Bait  dalam menghadapi  masalah-masalah baru. Mereka berpendapat bahwa ada dua nash yang dengan  tegas  menyuruh  kaum  Muslim  berpegang teguh  pada  pimpinan  ahl-al-Bait. Lagi pula, menurut mereka, pendapat seseorang menjadi hujjah bila orang itu  ma’shum.  Ah al-Bait  memiliki  kema’shuman  berdasarkan nash al-Qur’an dan al-Sunnah. [30]

 

Pada bagian ini, saya tak akan membicarakan  kelompok  sahabat ini,  tapi  akan  memutuskan  perhatian  pada  metode  ijtihad kelompok  sahabat  yang  tak  merujuk  ahl  al-Bait.   Menurut Muhammad  al-Khudlari Bek, fiqh mereka ini hanya terbatas pada qiyas.  Menurut  Muhammad   Salim   Madkur,   ijtihad   mereka menggunakan  tiga metode: a) menjelaskan dan menafsirkan nash; b) qiyas pada nash atau pada ijma’, dan ijtihad  dengan  ra’yu seperti  al-Mashalih  al-Mursalah  dan  istihsan. Muhammad Ali al-Sais menyebutkan bahwa ijtihad sahabat itu meliputi  qiyas, istihsan,  al-baraah al-ashliyah, sadd al-dzara’i, al-mashalih al-mursalah. [21]

 

Menurut pendapat saya,  ada  tiga  tahap  dalam  ijtihad  para sahabat:

a)      Merujuk  pada  nash  al-Qur’an  dan al-Sunnah

b)      Menggunakan metode-metode ijtihad  seperti  qiyas,  bila  nash tidak ada atau tidak diketahui.

 c)    Mencapai kesepakatan lewat proses perkembangan opini publik yang alamiah.

 

Pada tahap  pertama,  para  Khulafa  al-Rasyidin  selain  Ali, tampaknya  lebih memusatkan perhatian pada ayat-ayat al-Qur’an (atau  ruh   ajaran   al-Qur’an)   dengan   agak   mengabaikan (kadang-kadang  menafikan  hadits). Di bawah ini saya kutipkan berbagai riwayat berkenaan dengan  sikap  Khulafa  al-Rasyidin pada Hadits (sunnah):

 

1)  Dari  Ibn  Abbas:  ketika  Nabi  menjelang wafat, di rumah Rasulullah saw., berkumpul orang-orang, di antaranya Umar  bin Khathab.  Nabi  berkata: “Bawalah ke sini, aku tuliskan bagimu tulisan yang tidak akan  menyesatkanmu  selama-lamanya.”  Umar berkata:  “Nabi  sedang dikuasai penyakitnya. Padamu ada Kitab Allah. Cukuplah  bagimu  Kitab  Allah.”  Terjadi  ikhtilaf  di antara  orang-orang  di  rumah  itu. Di antara mereka ada yang mengikuti ucapan Umar. Ketika terjadi banyak pertengkaran  dan ikhtilaf,  Nabi  saw.  berkata: “Pergilah kamu semua dari aku.

Tidak layak di hadapanku bertengkar.” [22]

 

2) ‘Aisyah meriwayatkan: Ayahku telah mengumpulkan 500  hadits Rasulullah  saw. Pada suatu pagi ia datang padaku dan berkata: “Bawalah hadits-hadits yang ada padamu itu.  “Aku  membawanya. Ia  membakar  dan  berkata, “Aku takut jika aku mati aku masih meninggalkan hadits-hadits  ini  bersamamu,”  [23]  al-Dzahabi

meriwayatkan  bahwa  Abu Bakar mengumpulkan orang setelah Nabi wafat dan berkata; “Kalian meriwayatkan hadits Rasulullah saw. yang  kalian  pertengkarkan.  Nanti orang-orang setelah kalian akan lebih bertikai lagi. Janganlah meriwayatkan  satu  Hadits pun dari Rasulullah saw. Jika ada yang bertanya kepada kalian, jawablah    Di  antara  Anda  dan  kami  ada  Kitab   Allah, halalkanlah  apa  yang dihalalkannya, dan haramkanlah apa yang

diharamkannya” [24]

 

3) Al-Zuhri meriwayatkan, Umar ingin menuliskan  sunnah-sunnah Rasulullah   saw.   Ia   memikirkannya   selama   satu  bulan, mengharapkan bimbingan Allah dalam hal ini. Pada  suatu  pagi, ia   memutuskan  dan  menyatakan:  “Aku  teringat  orang-orang sebelum kalian. Mereka  tenggelam  dalam  tulisan  mereka  dan meninggalkan  Kitab  Allah.  [25]  Umar  kemudian mengumpulkan hadits-hadits itu dan membakarnya.  [26]  Ia  juga  menetapkan tahanan  rumah  pada  tiga  sahabat  yang  banyak meriwayatkan hadits: Ibn Mas’ud, Abu Darda,  dan  Abu  Mas’ud  al-Anshari.” [27]

 

Tradisi   pelarangan  hadits  ini  dilanjutkan  para  tabi’in, sehingga di kalangan ahl al-sunnah, penulisan hadits terlambat sampai  abad  8  M./2  H.  Menurut  satu riwayat, Umar ibn Abd al-Aziz  (meninggal  719/101)  adalah   orang   yang   pertama menginstruksikan penulisan hadits. [28]

 

Karakteristik kedua dari ijtihad sahabat, bila tidak ada nash, menggunakan qiyas atau pertimbangan  kepentingan  umum.  Dalam beberapa   kasus,   bahkan   pertimbangan   kepentingan   umum (maslahat) didahulukan dari nash,  walaupun  ada  nash  sharih (tegas)    yang   bertentangan   dengan   itu.   Berikut   ini contoh-contohnya.

 

1. Khalid Muhammad Khalid menulis tentang ijtihad  Umar  dalam al-Dimuqrathiyyah:   Umar   bin   Khattab  telah  meninggalkan nash-nash agama yang Suci dari al-Qur’an dan al-Sunnah  ketika dituntut  kemaslahatan  untuk  itu.  Bila al-Qur’an menetapkan bagian muallaf dari zakat,  serta  Rasulullah  dan  Abu  Bakar melakukannya,  Umar  datang  dan  berkata, “Kami tidak memberi kamu sedikit pun karena Islam.” Ketika  Rasul  dan  Abu  Bakar membolehkan  penjualan  Ummahat  al-Awlad,  Umar  melarangnya.

Ketika talaq tiga dalam satu  majelis  dihitung  satu  menurut Sunnah  dan  ijma,  Umar meninggalkan sunnah dan menyingkirkan ijma.

 

Dr.  al-Dawalibi  menulis  hal  yang  sama  dalam  ‘Ilm  Ushul al-Fiqh:  “Di  antara  kreasi  Umar r.a. yang menunjang kaidah hukum berubah karena perubahan  zaman  ialah  jatuhnya  thalaq tiga  dengan  satu kalimat; sedangkan di zaman Nabi, Abu Bakar dan permulaan Khilafah Umar, thalaq tiga  pada  sekali  ucapan dijadikan  satu  seperti  hadits  shahih dari Ibn ‘Abbas. Kata Umar: “Manusia terlalu terburu-buru di tempat yang  seharusnya hati-hati…”  Kata  Ibn  Qayyim,  Amir  al-Mu’minin  Umar bin Khathab melihat orang telah melecehkan urusan  thalaq…  Umar ingin  menghukum  keteledoran  ini,  sehingga  sahabat menahan dirinya untuk tidak mudah menjatuhkan thalaq. Umar melihat ini untuk  kemashlahatan  umat  di  zamannya… Ini adalah prinsip taghayyarat bihi al-fatwa litaghayyur al-zaman.” [29]

 

2. Ketika kelompok muallaf  datang  menemui  Abu  Bakar  untuk menuntut  surat, mereka datang kepada Umar. Umar merobek surat itu dan berkata, “Kami tidak  memerlukan  kalian  lagi.  Allah sudah  memenangkan Islam dan melepaskan dari kalian. Jika kamu Islam (baiklah itu),  jika  tidak  pedanglah  yang  memutuskan antara  kamu  dan  kami.  “Mereka  kembali  pada Abu Bakar dan berkata, “Adakah khalifah itu atau dia? “Abu  Bakar  menjawab, “Ia,  insya Allah. ” Lalu berlalulah apa yang diputuskan Umar. [30]

 

3. Al-Fujaah pernah menyatakan diri ingin berjihad dan meminta perbekalan   pada  Abu  Bakar.  Abu  Bakar  memberinya  bekal. Al-Fujaah ternyata menggunakan fasilitas Abu Bakar  ini  untuk merampok.   Abu   Bakar  menyuruh  Tharifah  bin  Hajiz  untuk membawanya  ke  Madinah.   Abu   Bakar   menghukumnya   dengan membakarnya hidup-hidup. [31]

 

4.  Abu  Bakar  dan  Umar  tidak  memberikan  hak  khumus dari keluarga  Rasulullah  saw.,  tapi  menyalurkan  hak   itu   fisabilillah. Mereka berpendapat, setelah Rasulullah saw. wafat, khalifah yang berhak mengatur pembagian khumus. [32]

 

5. Utsman bin Affan membolehkan “menikahi”  dua  orang  wanita bersaudara  dari  antara  budak  belian sekaligus. Ali bin Abi Thalib mengharamkannya.  [33]  Utsman  juga  melakukan  banyak “pembaharuan”  dalam  fiqh Islam:

a)      Mengimamkan shalat dalam keadaan safat di Mina; [34]

b)      Menambahkan adzan  ketiga  pada hari   Jum’at  ;  [35]

c)       Melarang  haji  tamattu;  [36]

d)      Membolehkan tidak mandi bagi yang bercampur  dengan  isterinya tanpa  mengeluarkan  mani;  [37]

e)      Mengambil zakat dari kuda; [38]

f)         Mendahulukan khotbah sebelum shalat pada  shalat  ‘id. [39]

 

Saya hentikan kutipan kasus-kasus ijtihad Khulafa’ al-Rasyidin di sini. Marilah kita lihat proses perkembangan pemikiran para sahabat  sehubungan dengan sunnah. Menurut Fazlur Rahman, [40] pada  zaman  para  sahabat,  orang  secara  bebas   memberikan tafsiran  pada  sunnah  Rasulullah saw. Berkembanglah berbagai penafsiran.   Dalam   proses    free    market    of    ideas, pendapat-pendapat  tertentu  kemudian berkembang menjadi opini generalis, lalu opini publik,  lalu  konsesnsus.  Karena  itu, waktu  itu  yang  disebut  sunnah  ialah apa yang disebut Imam Malik  sebagai  al-amr   al-mujtama’   ‘alaih.   Saya   hampir sependapat  dengan  Fazlur Rahman, kecuali dalam satu hal: Apa yang disepakati tidak selalu berkembang dari hasil  persaingan pendapat yang demokratis. Seringkali yang disebut ijma’ adalah konsensus yang “ditetapkan” oleh penguasa politik  waktu  itu. Tidak   berlebih-lebihan  kalau  kita  simpulkan  bahwa  fiqih al-Khulafa al-Rasyidin adalah fiqih penguasa.

 

KESIMPULAN

 

Fiqh  para   sahabat   –khususnya   seperti   diwakili   oleh al-Khulafa,  al-Rasyidun–  adalah  fondasi utama dari seluruh bangunan fiqh Islam sepanjang zaman. Fiqih shahabi  memberikan dua  macam  pola  pendekatan  terhadap  syari’ah yang kemudian melahirkan tradisi fiqh yang berbeda. Ikhtilaf di antara  para sahabat,  selain  mewariskan  kemusykilan  bagi kita sekarang, juga –seperti  kata  ‘Umar  ibn  Abdul  Aziz–  menyumbangkan khazanah  yang  kaya  untuk  memperluas pemikiran. Tentu saja, untuk itu diperlukan  penelaahan  kritis  terhadapnya.  Sayang sekali,  sikap  kritis  ini  telah  “dimatikan”  dengan vonnis zindiq oleh  sebagian  ahli  hadits.  Ada  dua  sikap  ekstrim terhadap  sahabat  yang  harus  dihindari:  menghindari  sikap kritis atau melakukan sikap hiperkritis. Ketika  banyak  orang marah  karena  ‘Umar  dikritik, ‘Umar sendiri berkata, “Semoga Allah meyampaikan kepadaku kesalahan-kesalahanku sebagai suatu bingkisan.” [41]

 

 

2. FIQH TABI’IN: FIQH USHUL

 

Sejak zaman sahabat (dan  ini  diakui  para  sahabat  sendiri) telah  terjadi perubahan-perubahan dalam syari’at Islam. Suatu ketika seorang tabi’in, Al-Musayyab memuji Al-Barra bin ‘Azib: “Beruntunglah  Anda. Anda menjadi sahabat Rasulullah saw. Anda berbaiat kepadanya di bawah  pohon.”  Al-Barra  menjawab,  Hai anak  saudaraku,  engkau  tidak  tahu  hal-hal  baru yang kami adakan sepeninggal Rasulullah. [42] Kata ma ahdatsna  (apa-apa yang  kami  adakan)  menunjukkan  pada  perbuatan  bid’ah yang dilakukan para sahabat  Nabi.  Diriwayatkan  bahwa  pada  hari kiamat ada rombongan manusia yang pernah menyertai Nabi diusir dari al-haudh (telaga). Nabi saw: “Ya Rabbi, mereka sahabatku. Dikatakan  kepadanya:  Engkau  tak  tahu  apa-apa  yang mereka ada-adakan sepeninggal kamu. [43]

 

Bid’ah-bid’ah  ini  telah  mengubah  sunnah  Rasulullah   saw. Sebagian  sahabat  mulai mengeluhkan terjadinya perubahan ini. Imam Malik meriwayatkan dari pamannya Abu  Suhail  bin  Malik, dari   bapaknya  (seorang  sahabat).  Ia  berkata:  Aku  tidak mengenal lagi apa-apa yang aku lihat dilakukan “orang” kecuali panggilan  shalat.  Al-Zarqani  mengomentari  hadits ini: Yang dimaksud “orang” adalah sahabat.  Adzan  tetap  seperti  dulu. Tidak  berubah, tidak berganti. Ada pun shalat, waktunya telah diakhirkan, dan perbuatan yang lain telah berubah.  [44]  Imam Syafi’i  meriwayatkan  dari  Wahab  bin Kaysan. Ia melihat Ibn Zubair memulai shalatnya sebelum  khutbah,  kemudian  berkata: Semua  sunnah  Rasulullah saw sudah diubah, sampai shalat pun.

[45] Kata Al-Zuhri: Aku menemui Anas bin Malik di Damaskus. Ia sedang menangis. “Mengapa Anda menangis,” tanya Al-Zuhri. Anas menjawab, “Aku sudah tidak mengenal lagi apa yang  aku  lihat, kecuali shalat. Ini pun sudah dilalaikan orang”. [46] Al-Hasan al-Bashri menegaskan: “Seandainya  sahabat-sahabat  Rasulullah saw  lewat,  mereka  tidak  mengenal  kamu (yang kamu amalkan) kecuali kiblat kamu”. [47] ‘Umran bin al Husain pernah  shalat

di  belakang Ali. Ia memegang tangan Muthrif bin Abd Allah dan berkata: Ia telah shalat seperti shalatnya  Muhammad  saw.  Ia mengingatkan aku pada Shalat Muhammad saw. [48]

 

Jadi  pada zaman sahabat pun, sunnah Nabi sudah banyak diubah. Salah  satu  sebab  utama  perubahan  adalah   campur   tangan penguasa.  Karena  pertimbangan  politik,  Bani  Umayyah telah mengubah sunnah Nabi, khususnya yang dijalankan  secara  setia oleh  Ali  dan  para pengikutnya. Ibn ‘Abbas berdoa: Ya Allah, laknatlah mereka.  Mereka  meninggalkan  sunnah  karena  benci kepada  Ali.  [49]  Contohnya,  menjaharkan  basmalah, sebagai upaya menghapus jejak Ali. [50] Contoh yang lain adalah  sujud di  atas  tanah,  yang menjadi tradisi Rasulullah saw dan para sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Ibn Mas’ud, Ibn  ‘Umar,  Jabir ibn  Abdullah  dan  lain-lain. Dalam perkembangannya, sujud di atas kain menjadi syi’ar Ahl  al-Sunnah;  sedangkan  sujud  di atas  tanah  dianggap  musyrik  dan dihitung sebagai perbuatan zindiq”. [51]

 

Contoh-contoh di  atas  menunjukkan  bagaimana  campur  tangan kekuasaan  politik  membentuk  fiqh.  Karena fiqh lebih banyak didasarkan pada al-hadits, penguasa politik kemudian melakukan manipulasi  hadits  dengan  motif politik. Fiqh Tab’in, selain mengambil hadits sebagai sumber hukum, juga mengambil  ijtihad para  sahabat.  Sebab itu, kita juga akan mengupas kemusykilan ijtihad sahabat. Karena pendapat-pendapat para sahabat terbagi dua  –yang  berpusat  pada  al-hadits dan al-ra’y– kita akan membicarakan juga tradisi  fiqh  al-atsar  dan  fiqh  al-ra’y.

Secara keseluruhan, kita lebih banyak menelaah ushul ketimbang fiqh. Hal ini disebabkan ushul adalah sandaran  para  tabi’in; dan karenanya secara singkat ia disebut Fiqh al-ushul.

 

Sebelum  membahas  itu semua, marilah kita lihat sedikit latar belakang fiqh tabi’in.

 

APA YANG DIMAKSUD DENGAN FIQH TABI’IN

 

Setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia,  orang-orang  Islam bertanya  pada  sahabat  dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak bertanya  pada  semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali memberi fatwa,  mungkin  karena  ketidaktahuan,  kehatihatian, atau  lagi-lagi  pertimbangan  politis.  Sebagian  lagi banyak sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka,  atau karena posisinya memungkinkan untuk itu.

 

Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah sedikit sekali memberi fatwa  atau  meriwayatkan al-hadits.  Abu  bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika  semua  hadits mereka  disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits   yang   diriwayatkan   Abu   Hurairah   (Abu   Huraiah meriwayatkan 5374 hadits).

 

Karena  itu,  para  tabi’in,  yakni  mereka  yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin.  Dalam pada  itu,  ketika  kekuasaan Islam meluas, hanya sedikit para sahabat yang  meninggalkan  Madinah.  Dalam  kaitan  ini,  Abu Zahrah menulis: [52]

Tinggalkan komentar